Tata Krama Tradisional Masyarakat Nagari Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan
Tata Krama Tradisional Masyarakat Nagari Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan
Setiap masyarakat (suku bangsa) mempunyai budaya dan kebiasaan yang khas, yang membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Kekhasan itu dapat dianggap sebagai ciri kebudayaan dan dimilikinya, dan sekaligus menjadi jati diri masyarakat tersebut.
Hal tersebut dapat dilihat salah satunya adalah tingkah laku atau perilaku manusia, baik dalam kehidupan sehari-harinya, maupun ketika berhubungan dengan orang lain, karena hal tersebut menimbulkan interaksi.
Pada waktu manusia berhubungan atau berinteraksi sesamanya, maka ada hal-hal yang mengatur yaitu tatakrama (adab sopan santun). Tatakrama (adab, sopan santun) merupakan milik kolektif suatu masyarakat, dan sesungguhnya mencerminkan budaya masyarakat pengembannya, menjadi ciri atau identitas masyarakat bersangkutan yang membedakannya dengan masyarakat lain.
Tatakrama menurut kamus Bahasa Indonesia (1995) adalah sopan santun yang diartikan sebagai segala tindak tanduk, perilaku, adat istiadat, tegur sapa, ucap dan cakap sesuai kaidah dan norma tertentu. Tatakrama mencakup seluruh segi kehidupan suatu masyarakat, antara lain meliputi kehidupan di lingkungan keluarga (kerabat) maupun di luar kerabat. Aturan atau tatakrama tentang bagaimana bersikap dengan kerabat dan luar kerabat itu telah semenjak duhulu yang biasanya selaras dengan nilai budaya yang dianut masyarakat pengembannya. Dananjaya (1994) menyebutkan bahwa tatakrama merupakan sesuatu yang harus dipelajari, baik oleh warga pemakainya, maupun orang lain yang ingin memahami masyarakat yang bersangkutan.
Selain itu, dalam tatakrama terkandung adanya pengendalian sosial seperti rasa hormat, rasa takut, sungkan, malu, dan rasa kesetiakawanan. Fungsi tatakrama adalah untuk mengatur perilaku masyarakat sehingga kalau aturan tatakrama dipatuhi maka akan tercipta interaksi sosial yang teratur. Tatakrama, dapat dikatakan merupakan tindakan suatu masyarat sebagai warisan turun temurun dan menjadi milik bersama.
Tindakan masyarakat, bisa diartikan sebagai tindakan sosial. Tindakan sosial adalah semua perilaku manusia yang dimotivasi dan dituntun oleh makna-makna yang dipahami aktor di dunia luar, makna-makna yang dianggapnya penting dan ada yang responnya. (Jenks, 2013 ; 85).
Pembentukan tatakrama awalnya bermula di lingkungan keluarga, dan diwariskan secara turun temurun melalui proses pembelajaran, dalam wujud bagaimana cara menghormat, berbicara, bersalaman, makan dan minum, berpakaian, bertegur sapa, bertamu, dan tatakrama lain yang lazin berlaku pada msyarakat yang bersangkutan, baik dilingkungan keluarga (kerabat) maupun di luar kerabat.
Seorang anak dalam suatu masyarakat, sejak kecil sudah memperoleh pendidikan tatakrama yang dimulai dari lingkungan yang terkecil yaitu keluarga sampai ke lingkungan yang lebih luas yaitu masyarakat.
Anak-anak disiapkan dalam rangka hubungan antar pribadi sebagai salah satu tahap bagi si anak untuk diterima secara penuh sebagai warga dengan mengamalkan tatakrama yang berlaku pada masyarakatnya. Sehingga, mereka yang lebih muda akan mengetahuai bagaimana tatakrama dalam budayanya dan mempunyai dasar yang kuat dalam menjaring masuknya budaya luar.
Generasi yang lebih tua mewariskan dan generasi yang lebih muda mewarisi., dan kemudian mewariskannya pula pada generasi selanjutnya. Adanya pewarisan itulah yang menyebabkan budaya masyarakat tetap terjaga dan lestari termasuk tatakrama. Tatakrama yang diwaris secara turun temurun itulah yang dikenal sebagai tatakrama tradisional suatu masyarakat, dan menjadi kekayaan (khazanah) budaya msyarakat bersangkutan.
Diantara orang-orang (masyarakat) yang berasal dari suku bangsa yang sama, ada kalanya memiliki perbedaan tatakrama (budaya) sehari-hari yang disebabkan antara lain oleh faktor lingkungan tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan dan lain-lain.
Masyarakat yang tinggal dipedesaan memiliki tatakrama berbeda dengan masyarakat tinggal di perkotaan. Begitupun, masyarakat yang di daerah darat (pegunungan) memiliki tatakrama berbeda dengan masyarakat yang tinggal di tepi pantai pesisir. Masyarakat Pesisir adalah kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung dari pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir.(Zein, 2002;6).
Kondisi lingkungannya yang dekat dengan laut dan bekerja sebagai nelayan mempengaruhi bentuk tatakrama sehari-hari dalam berhubungan dengan orang yang sekerabat dan dengan orang luar kerabatnya. Hal itu disebabkan karena masyarakat pesisir sebagai sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah pesisir, memiliki kebudayaan yang sama, yang identik dengan alam pesisir, dan melakukan kegiatan didalam kelompoknya.
Ketergantungan masyarakat terhadap sektor kelautan ini memberikan identitas tersendiri sebagai masyarakat pesisir dengan pola hidup yang dikenal sebagai kebudayaan pesisir (Geertz; 1981).
Aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir turun temurun umumnya adalah sebagai nelayan (menangkap ikan di laut), sehingga masyarakat pesisir diidentikkan sebagai masyarakat nelayan. Kusnadi (2010), menyebutkan bahwa masyarakat nelayan merupakan unsur sosial yang sangat penting dalam struktur masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang mereka miliki mewarnai karakteristik kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat pesisir secara umum. Ginkel (dalam Kusnadi; 2010), menyebutkan bahwa kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan, termasuk bentuk tatakrama (adat sopan santun) dalam kehidupan sehari-hari.
Kebudayaan masyarakat pesisir diantaranya terwujud dengan berbagai aspek sosial budaya dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya berupa tatakrama di lingkungkan keluarga dan masyarakat. Aspek sosial budaya itu sesungguhnya merupakan sistem nilai budaya yang berlaku pada masyarakat bersangkutan.
Pembentukan sistem nilai budaya tentunya terkait dengan aktifitas dalam berhubungan sesamanya yang menghasilkan ragam aktifitas budaya, dan menjadi acuan dalam kehidupan sehari-hari. Sistem nilai itulah yang menjadi dasar terbentuknya aktifitas sosial budaya yang pada akhirnya menimbulkan kebudayaan masyarakat pesisir tersebut.
Masyarakat pesisir sendiri tidak luput dari perubahan dalam kehidupannya sebagai akibat perkembangan zaman dewasa ini.
Masyarakat pesisir, sebagaimana telah diungkapkan, memiliki tatakrama yang telah berlaku turun temurun sebagai warisan dari leluhurnya. Tatakrama pada masyarakat pesisir memiliki kekhasan sendiri yang timbul akibat kehidupannya yang banyak bergelut dengan laut (nelayan), berbeda dengan masyarakat yang tinggal jauh dari pesisir (pegunungan), walaupun mereka merupakan suku bangsa yang sama. Ada hal-hal yang pada masyarakat pesisir dianggap tidak lazim oleh masyarakat yang tinggal jauh dari pantai, karena tidak mengentahui dan mengerti dengan hal tersebut, sehingga terkadang menimbulkan kesalahpahaman, saling mengejek dan bahkan terkadang menjurus ke arah konflik. Oleh karena itu sepatutnyalah perlu diketahui lebih jauh tentang tatakrama masyarakat nelayan untuk lebih mengetahui kehidupan masyarakat tradisional yang berlaku dalam kehidupan sehari-harinya.
Masyarakat tradisional, sebagaimana diketahui, dalam batas-batas tertentu memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan. Namun dalam skala perubahan yang lebih luas, seperti perubahan yang muncul bersamaan dengan arus globalisasi seperti pada sekarang ini, masyarakat (tradisional) tidak mampu secara cepat dan tepat, untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sosial budaya yang sudah terbiasa dengan pola atau aturan yang diwarisi dari generasi sebelumnya.
Perubahan yang tidak bisa dihindari oleh setiap masyarakat, serta merta ikut mempengaruhi keberadaan tatakrama tradisional di tengah masyarakatnya, baik di dalam kerabat maupun masyarakat yang lebih luas (diluar kerabat).
Demikian juga halnya dengan masyarakat pesisir di Provinsi Sumatera Barat yang tersebar dari Air Bangis di Kabupaten Pasaman Barat, sampai dengan Lunang Silaut di Kabupaten Pesisir Selatan. Secara budaya, mereka adalah masyarakat (sukubangsa) Minang Kabau yang dikenal dengan kebudayaan Minangkabau matrilinialnya, dan melaksanakan adat Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari.
Sama halnya dengan masyarakat pesisir lainnya, sebagian besar masyarat pesisir itu berkehidupan sebagai nelayan (menangkap ikan di laut) sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, mereka dikenal masih kuat melaksanakan kebiasaan atau tradisi yang merupakan warisan dari leluhurnya, termasuk tatakrama dalam kehidupan sehari-hari sejak dahulu hingga sekarang, Dalam kesehariannya mereka melaksanakan adat dan budaya sebagaimana halnya masyarakat di darek (darat) yang di kenal sebagai daerah asal (pusat budaya) orang Minangkabau.
Salah satu daerah (nagari) di pesisir Sumatera Barat adalah Nagari Mandeh Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan. Mayoritas masyarakat Mandeh bekerja sebagai nelayan (menangkap ikan) dan di kenal masih kuat memelihara kebiasaan tradisional dalam kehidupan sehari-hari, khususnya adap sopan santun (tatakrama) dalam berinteraksi dengan kaum kerabat dan masyarakat yang lebih luas. Nagari Mandeh merupakan daerah yang termasuk dalam kasawan objek wisata unggulan di Sumatera Barat.
Dijadikannya daerah ini sebagai daerah tujuan wisata mengindikasikan masyarakat setempat akan menghadapi interaksi langsung dengan para wisatawan yang berbeda budaya dan tentunya mempengaruhi budaya masyarakat setempat.
Dalam hal ini juga bisa menyentuk aktivitas sosial budaya masyarakat, termasuk tatakrama tradisional masyarakat setempat bisa jadi tinggal kenangan masa lampau, jika tidak ada usaha pendokumentasian dan pewarisan kepada generasi muda.
Sehubungan dengan itu, tulisan ini difokuskan pada tatakrama tradisional yang berlaku pada masyarakat di Nagari Mandeh Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan, khususnya bagaimana bentuk tatakrama tradisional masyarakat Nagari Mandeh di Kabupaten Pesisir Selatan, dan Penggunaan Tatakrama dalam kerabat dan diluar kerabat pada masyarakat Mandeh sekarang ini.
Jenis tatakrama yang ingin diketahui dan dikaji lebih jauh yakni tatakrama menghormat, makan dan minum, berpakaian, bertegur sapa, bersalaman, tatakrama bertamu, dan lainnya, serta penggunaanya dalam kerabat dan diluar kerabat sekarang ini.
Metode Penelitian
Metode/Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini dengan menerapkan prinsip-prinsip penelitian etnografi, yang bersifat kualitatif. Salah satu ciri dari penelitian etnografi dengan pendekatan kualitatif adalah deskripsi mengenai aspek-aspek kebudayaan suatu masyarakat. Pendekatan ini bisa pula diartikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati (Moleong, 1998: 3). Pendekatan kualitatif berusaha menjelaskan realitas sosial yang ingin diteliti dengan menggunakan data kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dan komprehensif tentang realitas sosial dalam masyarkat. Dalam penelitian kualitatif ini data dan informan ditelusuri seluas-luasnya dan sedalam mungkin sesuai dengan variasi yang ada, sehingga dengan cara demikian peneliti mampu mendeskripsikan fenomena secara utuh (Bungin, 2003: 53).
Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui beberapa teknik yang lazim digunakan dalam penelitian kebudayaan (kualitatif) yakni studi kepustakaan, wawancara dan observasi di lapangan. Studi kepustakaan, dengan mengumpulkan sumber-sumber tertulis berupa artikel, buku, ataupun tulisan-tulisan yang dapat dapat memberikan informasi tentang tatakrama dan masyarakat pesisir, khususnya di Nagari Mandeh untuk memperoleh gambaran awal tentang topik penelitian dan masyarakat setempat, dilakukan dengan mengunjungi perpustakaan dan tempat-tempat lainnya yang memungkinkan data diperoleh. Wawancara (interview), dilakukan terhadap beberapa orang informan yang dipilih berdasarkan kriteria yang telah diterapkan dan banyak mengetahui tentang kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Wawancara terfokus dilakukan terhadap informan terpilih yakni tokoh masyarakat, nelayan, generasi muda dan lainnya, untuk menggali data yang banyak dan mendalam.
Pengamatan (observation), diperlukan untuk mengetahui kondisi lingkungan sosial, lingkungan alam, dan lainnya. Analisis data, dilakukan terus menerus dengan menggunakan teknik interaktif analisis yang terdiri dari tiga tahap yakni reduksi data, display data dan verifikasi, dengan tujuan untuk mendapatkan kesinambungan dan kedalaman memperoleh data (Milles dan Huberman, danam Bungin : 2003).
Kaba Tuanku Lareh Simawang Ka Babini Duo
Awal Kalam
Antah sapek antah mantilau
Ramo-ramo di dalam gantang;
Antah dapek antah moh tido
Kaba lah lamo tak baulang.
Tambilang di rumpun lansek
Di Baliak batang kayu patai;
Di bilang sado nan dapek
Nan tingga untuak rang pandai.
Pilin bapilin rotan sago
Kaik bakaik aka baha;
Sajak di langik tabarito
Tibo di bumi jadi kaba.
Palupuan tadia nan dibantang
Puti batanun suto perak;
Sungguah kaba nan didendangkan
suri tauladan untuk rang banyak.
Pai Kumisi
Pada moso dewaso itu, sialah urang nan urangnyo, nan tacelah tampak jauah, nan tabirungoh tampak hampia, iyolah Tuanku Lareh Simawang, dunsanak dek Siti Rawiyah, awaklah lareh janyo urang, kan inyo ka pai kumisi, iyo ka ranah Batusangka, nan ka rumah Angku Kapalo.
Dicarai malah pakaian, lalu memakai hanyo lai, dikanakkan sarawa panjuik, lakeklah baju guntiang kaliang, saluak tateleang di Kapalo, deta balilik di kapalo, karih tasisiak di pinggang, pakai sisampiang kain balapak.
Mancaliak nan bak kian, batanyo sana pedusinyo, iyo Siti Jamilah, "Manolah Angku janyo denai, handak ka mano Angku kini, sarupo urang ka pai parang, tasirok darah memandangi."
Manjawab Lareh Simawang, "Adiak den Siti Jamilah, dangakan malah dek adiak denai katokan, bukan denai pai parang, hanya denai ka pai kumisi, ka ranah Batusangka, iyo ka rumah Angku Kapalo."
Kok inyo Siti Jamilah, sudah maklum di dalam hati, kok kilek baliuang alah ka kaki, kilek camin alah ka muko, lahianyo sajo pai kumisi, bantinnyo pai babini, iyo ka rumah Siti Rawani.
Bakato sanan Siti Jamilah, "Oi Angku joden di angku, angku den Lareh Simawang, dangakan malah dek Angku, denai bapantun ba ibarat :
Kudo banamo si katani
Dipauik di dalam hutan;
Tasirok darah mamandangi
Mancaliak Angku ka Bajalan."
Manjawab Lareh Simawang, "Adiak den Siti Jamilah, usahlah adiak barusuah hati, jan lah adiak tacamen bana, urang panggamang dareh hanyuik, urang nan pancameh lakeh jatuan."
Sanan bakato Siti Jamilah, iyo bakato sambia bapantun :
"Ka ayia ka pasia lawik
Baru tibo kami lah mandi;
Apo gunonyo ka disabuik
Itu timbangan Angku sandiri."
Kato nan tidak bajawab lai, dek Angku Lareh Simawang, inyo lah turun ka laman, diracak kudo diguratiahkan, kudo manduo lari kancang, manuju ka ranah Batusangka. Alah sarantang pajalanan, cukuik katigo rantang panjang, nan jauah raso ka hampiang, nan dakek raso ka tibo, lah tibo inyo di sanan, iyo di ranah Batusangka, tibo di laman rumah Angku Kapalo.
Kudo mendompak maringih panjang, sanan takajuik Angku Kapalo, lalu disonsong ka laman, diparenai naiak ka rumah.
Kununlah Lareh Simawang, duduak sakli di kurisi, titiaklah parentah duo tigo, alah sudah malah barundiang, lamo sabanta antaronyo, bakato Lareh Simawang, "Oi Angku joden di angku, dangakan dek angku elok-elok:
Bapikek dalam bapikau
Anak puyuah balari-lari;
Maliek sadang mahimbau
Maliek Siti Rawani.
Angku panggialah, angku himbau inyo ka mari," katonyo Lareh Simawang.
Mandanga kato nan bak itu, manjawab Angku Kapalo, "Dangakan pulo malah dek Angku :
Cacak balari ateh kasau
Jatuah badabuak sampai mati;
Tidak ka rago ka dihimbau
Inyo ka mari tiok hari.
Alah ka ladang urang bakabun
Bungonyo kambang tangah hari;
Usah diharok buruang nantun
Balun balago musin kini."
Mandanga rundiangan nan bak kian, tamanuang Lareh Simawang, tangan tatagun ateh meja, rintang bamanuang di kurisi.
Sasdang samaso leh nantun, tadanga suaro di laman, sanan bakato Angku Kapalo, "Oi Angku Jo den di angku, itu lah si Siti Rawani, manjanguah malah Angku ka halaman."
Takajuik Lareh Simawang, dilapeh pandangan ka laman, alah tampak si Siti Rawani, dipatuik bana nyato-nyato, dicaliak bana jaleh-jale, rancak nan bukan alang-alang, mukonyo nan bak bulan panuah, pipinyo bak pauah dilayang, hiduang nan bak dasun tungga, bulu mato bak samuik sairiang, Allahu Rabbi rancak romannyo, bakucaklah iman mamandangi, sariklah urang ka judunyo.
Lamo lah Tuanku Lareh, tapukau maliek Siti Rawani, sanan bakato Lareh nantun :
"Pisang timbatu di laman
Makanan urang samuonyo;
Aka jo budi dijalankan
Sampai ka bapak jo mandehnyo."
Sanan manjawab Angku Kapalo, "Dangakan pulo malah dek Angku:
Babelok jalan urang ka Tiku
Manyimpang jalan ka muaro;
Angku mananti malah dahulu
Ambo batenggang jo bicaro."
Mandanga kato nan bak kian, sanang hati Lareh Simawang, lalu bakato inyo maso itu, "Sabulan lamonyo ambo nantikan, tantulah sakali lain tidaknyo, nan dapek ambo mengirokan."
Kununlah Lareh Simawang, kato sampai inyo pun turun, bajalan inyo ka laman, diracak sakali malah kudo, sana bakato Angku Kapalo, "Sungguah-sunguah malah Tuanku mananti, buruang lia kok lain namuah jinak, kok lai untuk jo bagian."
Agaklah del Lareh Simawang, digurantiahkan malah tali kakang, kudo manduo lari kancang, dihiliakan labuah nan panjang, alah sarantang duo rantang, cukuik katigo rantang panjang, tibolah inyo di ranah Koto Simawang, taruih ka Rumah Siti Jamilah.
Dihimbau urang jago gadang, "Manolah urang jago gadang, masuakkan malah kudo ka kandang barilah rumpuik jo sagu."
Indak elok dirandang kacang
Elok diambiak nan babungo;
Tak guni dipapanjang
Elok diambiak nan paguno.
Pantang Tatangahkan
Di hari nan sahari nantun, lorong kapado Lareh Simawang, sadang duduak tangah rumah, duduak bajuntai di kurisi, takana bana wakatu itu, lalu dituka malah pakaian, pai mandi inyo ka lubuak, iyo ka lubuak pincuran gadang.
Lamo tatagun maso itu, babagai pangana nan tibo, tabayang rupo Siti Rawani, lah sampai di dalam lubuak, tak tantu apo ka disabuik.
Hari baransuan rambang sanjo, sanan takajuik lareh nantun, takana bana dek inyo, lalu dibasuah sajo malah muko, indak jadi baliau mandi.
Kununlah dek Siti Jamilah, hedangan lah dilatakkan, hatinyo sakik tak tabado, namun di muko nan indak mangasan, sanan bakato hanyo lai :
"Anak urang pakan rabaa
Nak pai ke Padang Panjang;
Tuanku makanlah baa
Nasi alah ambo hidangkan."
Mandango kato nan bak kian, takajuik Tuanku Lareh Simawang, inyo nan sadang bapikia maso itu, pangana ka Siti Rawani juo, lalu dibasuah malah tangan, disuok nasi sasuok, nasi dikunyah raso sakam, ayia diminum sambiluan, hati buncah pikiran rambang, pangana ka Batusangka juo, iyo ka rumah Siti Rawani. Lorong kapado Siti Jamilah, lalu batanyo sambia bapantun:
"Baburu ka Bangkahulu
Dapeklah ruso kambiang hutan;
Sakik kapalo garan Angku
Mangko nasi indak tamakan.
Kain gadang rang Pitalah
Suji nan tidak barubahan
Pakaian rajo si patani;
Kanai ilimu garan kolah
Barubah raso paratian
Padoman tampak pado kami."
Disindia nan bak itu, manjawab Lareh Simawang "Dangakan malah dek adiak denai katokan :
Denai hilia ka Pariaman
Singgah ka rumah nak rang Tiku;
Bukan barubah paratian
Hati den rusuah tak batantu."
Bakato pulo Siti Jamilah, suaro lah mulai garuak parau :
"Tanamlah pinang di laman
Jatuah salodang silaronyo;
Barulah Angku di timbangan
Samantang ka bulek-bulek bungo rayo.
Tinggilah bukik Gunuang Sago
Tampek ka ladang rang bakabun;
Usahlah Angku mahandak juo
Angku Kumisi denai lah maklum."
Kununlah dek Siti Jamilah, bajalan inyo ka dalam biliak, ayia mato badarai-darai, takana untuang jo bagian, awak di dalam bababan barek, masuak tujuah bulan panuah, anak rak dalam paibo hati, dirameh paruik dikaluahkan, mangaluah maharang panjang.
Diliek laki gilo bamanuang juo, hatinyo batambah sansai juo, manganakan untuang jo parasaian, awak lah nyato urang dagang, tidak bakampuang ba halaman, tidak badusun banagari, tidak barumah bataratak, tidak bakaum bakirabat.
Tipak di diri Siti Jamilah, lorong Kapado dang rauik romannyo, sariklah pulo ka tandiangannyo, muko panuah bak bujua talua, hiduang mancuang bak dasun tungga, pipi nan bak pauah dilayang, bulu mato bak samuik baririang, daguaknyo nan bak labah hinggok, langannyo bak lilin dituang, batihnyo bak paruik pada, tumiknyo bak talua buruang, randah tidak tinggi pun tidak, sadang elok bapatutan.
Alah sahari duo hari, sampailah sapuluah hari, Lareh Simawang bamanuang juo, hati batambah sansai juo, manganakan untuang jo parasaian. Alah datang candonyo surek, iyo dari ranah Batusangka, lalu dibaco hanyo lai, ado rahasio di dalamnyo.
"Mamintah Tuanku datang ka rumah Angku Kapalo, dek karano janji nan dahulu, pintak bak raso ka buliah, kandak bak raso ka balaku, lakeh malah Tuangku basugiro, datang ka ranah Batu Sangka."
Salasai surek dibao, sanang raso kiro-kiro, tabayang sakali roman Siti Rawani, bajalan inyo sakali, maadok ka rumah Siti Rawiyah.
Alah sarantang duo rantang, cukuik katigo rantang panjang, jauah basarang hampia juo, dakok raso ka tibo, lah tibo inyo di sanan, iyo di rumah aciaknyo Siti Rawiyah.
Maliek Lareh Simawang lah tibo, dikambangkan lapiak tangah rumah, dihimbau malah bapaknyo, lah naiak Tuanku Lareh Simawang, sanan bakato inyo lai, "Oi Aciak joden di aciak, acek den Siti Rawiyah, ado sabuah denai katokan, denai ka pai babini, iyo ka rumah Siti Rawani, nan di ranah Batusangka."
Mandanga kato nan bak kian, indak ado jawaban dari aciaknyo, sanan bakato Angku Guru, iyolah bapak kanduangnyo, "Anak kanduang Lareh Simawang, hanyo sabuah sajo denai rusuahkan, utang dibayia kok indak salasai, mato tak suko urang mancaliak, talingo tak suko urang mandanga, hilang dagang baganti dagang.
Sabagai lai pulo 'nak kanduang, lorong kapado Siti Jamilah, anak urang sadang hamil, batapolah ka ibo dang hatinyo, ibu tidak dunsanak tidak, kampuangnyo pun jauah sakali, kununlah pulo Siti Jamilah, roman baiak baso katuju, muluik manih kuncindan murah.
Oi anak kanduang saba lah dahulu, malakik anak rang lapeh babannyo, anak kok dibincang-bincang urang, anak kok manyasa kamudian."
Kato nan indah bajawab, bajalanlah Lareh Simawang, iyo ka rumah Siti Jamilah, lah tibo garan di sanan, duduak bajuntai di kurisi, nasi tahedang jo minuman.
Kununlah Siti Jamilah, barapo banalah rusuah hati, capeknyo bapanyok bak itu juo, lalu bakato maso itu, "Usahlah Angku bamanuang juo, minumlah ayia ubek hauih, makanlah nasi ubek litak."
Mandanga kato nan bak kian, lah makan Lareh Simawang, alah sasuok inyo makan, cukuik katigo inyo lah kanyang, sudah pulo marokok makan siriah.
Pada maso itu, patang Kamih malam Jum'at, dek Tuanku Lareh Simawang, dicubo maujo-ujo mangatokan, mamintak izin ka malakang, tapi ado pulo nan dirusuahkannyo, sabab Siti Jamilah sadang bababan, cukuik katujuah bulan panuah, itulah pulo nan manyeso hatinyo, baa lah caro ka mangatokan.
Prinsip dasar mengenai wilayah kekuasaan negara | Prinsip Dasar Tentang Pemerintahan di Minangkabau
Sejarah Minangkabau
Prinsip dasar mengenai wilayah kekuasaan negara
Prinsip Dasar Tentang Pemerintahan di Minangkabau
Hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan
Negeri Sembilan sekarang
Negeri Sembilan termasuk salah satu negara bagian yang menjadi negara Federasi Malaysia. Sebelah selatannya terletak Gubernemen Melaka sebelah ke timur dengan negara bagian Johor, sebelah utara dengan Pahang dan sebelah barat dengan Selangor.Rombongan Keempat
Rombongan ini datang dari Sarilamak (Payakumbuh), diketuai oleh Datuk Putih dan mereka menepat pada Sutan Sumanik yang sudah duluan membuka perkampungan di Negeri Sembilan ini. Datuk Putih terkenal sebagai seorang pawang atau bomoh yang ahli ilmu kebatinan. Beliaulah yang memberi nama Seri Menanti bagi tempat istana raja yang sekarang ini.
- Tanah Datar
- Batuhampar
- Seri Lemak Pahang
- Seri Lemak Minangkabau
- Mungka
- Payakumbuh
- Seri Malanggang
- Tigo Batu
- Biduanda
- Tigo Nenek
- Anak Aceh
- Batu Belang
Legenda Danau Maninjau, Gunung Tinjau, Asal Usul Danau Maninjau
Legenda Danau Maninjau Sumatera Barat
Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Danau Maninjau berikut ini!“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.
Sumber : Mozaik Minang