-->

Tata Krama Tradisional Masyarakat Nagari Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan

Tata Krama Tradisional Masyarakat Nagari Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan

Setiap masyarakat (suku bangsa) mempunyai budaya dan kebiasaan yang khas, yang membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Kekhasan itu dapat dianggap sebagai ciri kebudayaan dan dimilikinya, dan sekaligus menjadi jati diri masyarakat tersebut.

Hal tersebut dapat dilihat salah satunya adalah tingkah laku atau perilaku manusia, baik dalam kehidupan sehari-harinya, maupun ketika berhubungan dengan orang lain, karena hal tersebut menimbulkan interaksi.

Pada waktu manusia berhubungan atau berinteraksi sesamanya, maka ada hal-hal yang mengatur yaitu tatakrama (adab sopan santun). Tatakrama (adab, sopan santun) merupakan milik kolektif suatu masyarakat, dan sesungguhnya mencerminkan budaya masyarakat pengembannya, menjadi ciri atau identitas masyarakat bersangkutan yang membedakannya dengan masyarakat lain.

Tatakrama menurut kamus Bahasa Indonesia (1995) adalah sopan santun yang diartikan sebagai segala tindak tanduk, perilaku, adat istiadat, tegur sapa, ucap dan cakap sesuai kaidah dan norma tertentu. Tatakrama mencakup seluruh segi kehidupan suatu masyarakat, antara lain meliputi kehidupan di lingkungan keluarga (kerabat) maupun di luar kerabat. Aturan atau tatakrama tentang bagaimana bersikap dengan kerabat dan luar kerabat itu telah semenjak duhulu yang biasanya selaras dengan nilai budaya yang dianut masyarakat pengembannya. Dananjaya (1994) menyebutkan bahwa tatakrama merupakan sesuatu yang harus dipelajari, baik oleh warga pemakainya, maupun orang lain yang ingin memahami masyarakat yang bersangkutan.

Selain itu, dalam tatakrama terkandung adanya pengendalian sosial seperti rasa hormat, rasa takut, sungkan, malu, dan rasa kesetiakawanan. Fungsi tatakrama adalah untuk mengatur perilaku masyarakat sehingga kalau aturan tatakrama dipatuhi maka akan tercipta interaksi sosial yang teratur. Tatakrama, dapat dikatakan merupakan tindakan suatu masyarat sebagai warisan turun temurun dan menjadi milik bersama.

Tindakan masyarakat, bisa diartikan sebagai tindakan sosial. Tindakan sosial adalah semua perilaku manusia yang dimotivasi dan dituntun oleh makna-makna yang dipahami aktor di dunia luar, makna-makna yang dianggapnya penting dan ada yang responnya. (Jenks, 2013 ; 85).

Pembentukan tatakrama awalnya bermula di lingkungan keluarga, dan diwariskan secara turun temurun melalui proses pembelajaran, dalam wujud bagaimana cara menghormat, berbicara, bersalaman, makan dan minum, berpakaian, bertegur sapa, bertamu, dan tatakrama lain yang lazin berlaku pada msyarakat yang bersangkutan, baik dilingkungan keluarga (kerabat) maupun di luar kerabat.

Seorang anak dalam suatu masyarakat, sejak kecil sudah memperoleh pendidikan tatakrama yang dimulai dari lingkungan yang terkecil yaitu keluarga sampai ke lingkungan yang lebih luas yaitu masyarakat.

Anak-anak disiapkan dalam rangka hubungan antar pribadi sebagai salah satu tahap bagi si anak untuk diterima secara penuh sebagai warga dengan mengamalkan tatakrama yang berlaku pada masyarakatnya. Sehingga, mereka yang lebih muda akan mengetahuai bagaimana tatakrama dalam budayanya dan mempunyai dasar yang kuat dalam menjaring masuknya budaya luar.

Generasi yang lebih tua mewariskan dan generasi yang lebih muda mewarisi., dan kemudian mewariskannya pula pada generasi selanjutnya. Adanya pewarisan itulah yang menyebabkan budaya masyarakat tetap terjaga dan lestari termasuk tatakrama. Tatakrama yang diwaris secara turun temurun itulah yang dikenal sebagai tatakrama tradisional suatu masyarakat, dan menjadi kekayaan (khazanah) budaya msyarakat bersangkutan.

Diantara orang-orang (masyarakat) yang berasal dari suku bangsa yang sama, ada kalanya memiliki perbedaan tatakrama (budaya) sehari-hari yang disebabkan antara lain oleh faktor lingkungan tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan dan lain-lain. 

Masyarakat yang tinggal dipedesaan memiliki tatakrama berbeda dengan masyarakat tinggal di perkotaan. Begitupun, masyarakat yang di daerah darat (pegunungan) memiliki tatakrama berbeda dengan masyarakat yang tinggal di tepi pantai pesisir. Masyarakat Pesisir adalah kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung dari pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir.(Zein, 2002;6).

Kondisi lingkungannya yang dekat dengan laut dan bekerja sebagai nelayan mempengaruhi bentuk tatakrama sehari-hari dalam berhubungan dengan orang yang sekerabat dan dengan orang luar kerabatnya. Hal itu disebabkan karena masyarakat pesisir sebagai sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah pesisir, memiliki kebudayaan yang sama, yang identik dengan alam pesisir, dan melakukan kegiatan didalam kelompoknya.

Ketergantungan masyarakat terhadap sektor kelautan ini memberikan identitas tersendiri sebagai masyarakat pesisir dengan pola hidup yang dikenal sebagai kebudayaan pesisir (Geertz; 1981).

Aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir turun temurun umumnya adalah sebagai nelayan (menangkap ikan di laut), sehingga masyarakat pesisir diidentikkan sebagai masyarakat nelayan. Kusnadi (2010), menyebutkan bahwa masyarakat nelayan merupakan unsur sosial yang sangat penting dalam struktur masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang mereka miliki mewarnai karakteristik kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat pesisir secara umum. Ginkel (dalam Kusnadi; 2010), menyebutkan bahwa kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan, termasuk bentuk tatakrama (adat sopan santun) dalam kehidupan sehari-hari.


Kebudayaan masyarakat pesisir diantaranya terwujud dengan berbagai aspek sosial budaya dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya berupa tatakrama di lingkungkan keluarga dan masyarakat. Aspek sosial budaya itu sesungguhnya merupakan sistem nilai budaya yang berlaku pada masyarakat bersangkutan. 

Pembentukan sistem nilai budaya tentunya terkait dengan aktifitas dalam berhubungan sesamanya yang menghasilkan ragam aktifitas budaya, dan menjadi acuan dalam kehidupan sehari-hari. Sistem nilai itulah yang  menjadi dasar terbentuknya aktifitas sosial budaya yang pada akhirnya menimbulkan kebudayaan masyarakat pesisir tersebut.

Masyarakat pesisir sendiri tidak luput dari perubahan dalam kehidupannya sebagai akibat perkembangan zaman dewasa ini.

Masyarakat pesisir, sebagaimana telah diungkapkan, memiliki tatakrama yang telah berlaku turun temurun sebagai warisan dari leluhurnya. Tatakrama pada masyarakat pesisir memiliki kekhasan sendiri yang timbul akibat kehidupannya yang banyak bergelut dengan laut (nelayan), berbeda dengan masyarakat yang tinggal jauh dari pesisir (pegunungan), walaupun mereka merupakan suku bangsa yang sama. Ada hal-hal yang pada masyarakat pesisir dianggap tidak lazim oleh masyarakat yang tinggal jauh dari pantai, karena tidak mengentahui dan mengerti dengan hal tersebut, sehingga terkadang menimbulkan kesalahpahaman, saling mengejek dan bahkan terkadang menjurus ke arah konflik. Oleh karena itu sepatutnyalah perlu diketahui lebih jauh tentang tatakrama masyarakat nelayan untuk lebih mengetahui kehidupan masyarakat tradisional yang berlaku dalam kehidupan sehari-harinya.

Masyarakat tradisional, sebagaimana diketahui, dalam batas-batas tertentu memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan. Namun dalam skala perubahan yang lebih luas, seperti perubahan yang muncul bersamaan dengan arus globalisasi seperti pada sekarang ini, masyarakat (tradisional) tidak mampu secara cepat dan tepat, untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sosial budaya yang sudah terbiasa dengan pola atau aturan yang diwarisi dari generasi sebelumnya.

Perubahan yang tidak bisa dihindari oleh setiap masyarakat, serta merta ikut mempengaruhi keberadaan tatakrama tradisional di tengah masyarakatnya, baik di dalam kerabat maupun masyarakat yang lebih luas (diluar kerabat).

Demikian juga halnya dengan masyarakat pesisir di Provinsi Sumatera Barat yang tersebar dari Air Bangis di Kabupaten Pasaman Barat, sampai dengan Lunang Silaut di Kabupaten Pesisir Selatan. Secara budaya, mereka adalah masyarakat (sukubangsa) Minang Kabau yang dikenal dengan kebudayaan Minangkabau matrilinialnya, dan melaksanakan adat Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari. 

Sama halnya dengan masyarakat pesisir lainnya, sebagian besar masyarat pesisir itu berkehidupan sebagai nelayan (menangkap ikan di laut) sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, mereka dikenal masih kuat melaksanakan kebiasaan atau tradisi yang merupakan warisan dari leluhurnya, termasuk tatakrama dalam kehidupan sehari-hari sejak dahulu hingga sekarang, Dalam kesehariannya mereka melaksanakan adat dan budaya sebagaimana halnya masyarakat di darek (darat) yang di kenal sebagai daerah asal (pusat budaya) orang Minangkabau.

Salah satu daerah (nagari) di pesisir Sumatera Barat adalah Nagari Mandeh Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan. Mayoritas masyarakat Mandeh bekerja sebagai nelayan (menangkap ikan) dan di kenal masih kuat memelihara kebiasaan tradisional dalam kehidupan sehari-hari, khususnya adap sopan santun (tatakrama) dalam berinteraksi dengan kaum kerabat dan masyarakat yang lebih luas. Nagari Mandeh merupakan daerah yang termasuk dalam kasawan objek wisata unggulan di Sumatera Barat.

Dijadikannya daerah ini sebagai daerah tujuan wisata mengindikasikan masyarakat setempat akan menghadapi interaksi langsung dengan para wisatawan yang berbeda budaya dan tentunya mempengaruhi budaya masyarakat setempat.

Dalam hal ini juga bisa menyentuk aktivitas sosial budaya masyarakat, termasuk tatakrama tradisional masyarakat setempat bisa jadi tinggal kenangan masa lampau, jika tidak ada usaha pendokumentasian dan pewarisan kepada generasi muda.

Sehubungan dengan itu, tulisan ini difokuskan pada tatakrama tradisional yang berlaku pada masyarakat di Nagari Mandeh Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan, khususnya bagaimana bentuk tatakrama tradisional masyarakat Nagari Mandeh di Kabupaten Pesisir Selatan, dan Penggunaan Tatakrama dalam kerabat dan diluar kerabat pada masyarakat Mandeh sekarang ini. 

Jenis tatakrama yang ingin diketahui dan dikaji lebih jauh yakni tatakrama menghormat, makan dan minum, berpakaian, bertegur sapa, bersalaman, tatakrama bertamu, dan lainnya, serta penggunaanya dalam kerabat dan diluar kerabat sekarang ini.


Metode Penelitian  

Metode/Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini dengan menerapkan prinsip-prinsip penelitian etnografi, yang bersifat kualitatif. Salah satu ciri dari penelitian etnografi dengan pendekatan kualitatif adalah deskripsi mengenai aspek-aspek kebudayaan suatu masyarakat. Pendekatan ini bisa pula diartikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati (Moleong, 1998: 3). Pendekatan kualitatif berusaha menjelaskan realitas sosial yang ingin diteliti dengan menggunakan data kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dan komprehensif tentang realitas sosial dalam masyarkat. Dalam penelitian kualitatif ini data dan informan ditelusuri seluas-luasnya dan sedalam mungkin sesuai dengan variasi yang ada, sehingga dengan cara demikian peneliti mampu mendeskripsikan fenomena secara utuh (Bungin, 2003: 53).

Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui beberapa teknik yang lazim digunakan dalam penelitian kebudayaan (kualitatif) yakni studi kepustakaan, wawancara dan observasi di lapangan. Studi kepustakaan, dengan mengumpulkan sumber-sumber tertulis berupa artikel, buku, ataupun tulisan-tulisan yang dapat dapat memberikan informasi tentang tatakrama dan masyarakat pesisir, khususnya di Nagari Mandeh untuk memperoleh gambaran awal tentang topik penelitian dan masyarakat setempat, dilakukan dengan mengunjungi perpustakaan dan tempat-tempat lainnya yang memungkinkan data diperoleh. Wawancara (interview), dilakukan terhadap beberapa orang informan yang dipilih berdasarkan kriteria yang telah diterapkan dan banyak mengetahui tentang kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Wawancara terfokus dilakukan terhadap informan terpilih yakni tokoh masyarakat, nelayan, generasi muda dan lainnya, untuk menggali data yang banyak dan mendalam.

Pengamatan (observation), diperlukan untuk mengetahui kondisi lingkungan sosial, lingkungan alam, dan lainnya. Analisis data, dilakukan terus menerus dengan menggunakan teknik interaktif analisis yang terdiri dari tiga tahap yakni reduksi data, display data dan verifikasi, dengan tujuan untuk mendapatkan kesinambungan dan kedalaman memperoleh data (Milles dan Huberman, danam Bungin : 2003).  

Readmore → Tata Krama Tradisional Masyarakat Nagari Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan

Kaba Tuanku Lareh Simawang Ka Babini Duo

 Awal Kalam


Antah sapek antah mantilau

Ramo-ramo di dalam gantang;

Antah dapek antah moh tido

Kaba lah lamo tak baulang.


Tambilang di rumpun lansek

Di Baliak batang kayu patai;

Di bilang sado nan dapek

Nan tingga untuak rang pandai.


Pilin bapilin rotan sago

Kaik bakaik aka baha;

Sajak di langik tabarito

Tibo di bumi jadi kaba.


Palupuan tadia nan dibantang

Puti batanun suto perak;

Sungguah kaba nan didendangkan

suri tauladan untuk rang banyak.


Pai Kumisi


Pada moso dewaso itu, sialah urang nan urangnyo, nan tacelah tampak jauah, nan tabirungoh tampak hampia, iyolah Tuanku Lareh Simawang, dunsanak dek Siti Rawiyah, awaklah lareh janyo urang, kan inyo ka pai kumisi, iyo ka ranah Batusangka, nan ka rumah Angku Kapalo.

Dicarai malah pakaian, lalu memakai hanyo lai, dikanakkan sarawa panjuik, lakeklah baju guntiang kaliang, saluak tateleang di Kapalo, deta balilik di kapalo, karih tasisiak di pinggang, pakai sisampiang kain balapak.

Mancaliak nan bak kian, batanyo sana pedusinyo, iyo Siti Jamilah, "Manolah Angku janyo denai, handak ka mano Angku kini, sarupo urang ka pai parang, tasirok darah memandangi."

Manjawab Lareh Simawang, "Adiak den Siti Jamilah, dangakan malah dek adiak denai katokan, bukan denai pai parang, hanya denai ka pai kumisi, ka ranah Batusangka, iyo ka rumah Angku Kapalo."

Kok inyo Siti Jamilah, sudah maklum di dalam hati, kok kilek baliuang alah ka kaki, kilek camin alah ka muko, lahianyo sajo pai kumisi, bantinnyo pai babini, iyo ka rumah Siti Rawani.

Bakato sanan Siti Jamilah, "Oi Angku joden di angku, angku den Lareh Simawang, dangakan malah dek Angku, denai bapantun ba ibarat :

Kudo banamo si katani

Dipauik di dalam hutan;

Tasirok darah mamandangi

Mancaliak Angku ka Bajalan."


Manjawab Lareh Simawang, "Adiak den Siti Jamilah, usahlah adiak barusuah hati, jan lah adiak tacamen bana, urang panggamang dareh hanyuik, urang nan pancameh lakeh jatuan."


Sanan bakato Siti Jamilah, iyo bakato sambia bapantun :

"Ka ayia ka pasia lawik

Baru tibo kami lah mandi;

Apo gunonyo ka disabuik

Itu timbangan Angku sandiri."


Kato nan tidak bajawab lai, dek Angku Lareh Simawang, inyo lah turun ka laman, diracak kudo diguratiahkan, kudo manduo lari kancang, manuju ka ranah Batusangka. Alah sarantang pajalanan, cukuik katigo rantang panjang, nan jauah raso ka hampiang, nan dakek raso ka tibo, lah tibo inyo di sanan, iyo di ranah Batusangka, tibo di laman rumah Angku Kapalo.


Kudo mendompak maringih panjang, sanan takajuik Angku Kapalo, lalu disonsong ka laman, diparenai naiak ka rumah.


Kununlah Lareh Simawang, duduak sakli di kurisi, titiaklah parentah duo tigo, alah sudah malah barundiang, lamo sabanta antaronyo, bakato Lareh Simawang, "Oi Angku joden di angku, dangakan dek angku elok-elok:


Bapikek dalam bapikau

Anak puyuah balari-lari;

Maliek sadang mahimbau

Maliek Siti Rawani.


Angku panggialah, angku himbau inyo ka mari," katonyo Lareh Simawang.


Mandanga kato nan bak itu, manjawab Angku Kapalo, "Dangakan pulo malah dek Angku :


Cacak balari ateh kasau

Jatuah badabuak sampai mati;

Tidak ka rago ka dihimbau

Inyo ka mari tiok hari.


Alah ka ladang urang bakabun

Bungonyo kambang tangah hari;

Usah diharok buruang nantun

Balun balago musin kini."


Mandanga rundiangan nan bak kian, tamanuang Lareh Simawang, tangan tatagun ateh meja, rintang bamanuang di kurisi.

Sasdang samaso leh nantun, tadanga suaro di laman, sanan bakato Angku Kapalo, "Oi Angku Jo den di angku, itu lah si Siti Rawani, manjanguah malah Angku ka halaman."


Takajuik Lareh Simawang, dilapeh pandangan ka laman, alah tampak si Siti Rawani, dipatuik bana nyato-nyato, dicaliak bana jaleh-jale, rancak nan bukan alang-alang, mukonyo nan bak bulan panuah, pipinyo bak pauah dilayang, hiduang nan bak dasun tungga, bulu mato bak samuik sairiang, Allahu Rabbi rancak romannyo, bakucaklah iman mamandangi, sariklah urang ka judunyo.


Lamo lah Tuanku Lareh, tapukau maliek Siti Rawani, sanan bakato Lareh nantun :

"Pisang timbatu di laman

Makanan urang samuonyo;

Aka jo budi dijalankan

Sampai ka bapak jo mandehnyo."


Sanan manjawab Angku Kapalo, "Dangakan pulo malah dek Angku:

Babelok jalan urang ka Tiku

Manyimpang jalan ka muaro;

Angku mananti malah dahulu

Ambo batenggang jo bicaro."


Mandanga kato nan bak kian, sanang hati Lareh Simawang, lalu bakato inyo maso itu, "Sabulan lamonyo ambo nantikan, tantulah sakali lain tidaknyo, nan dapek ambo mengirokan."


Kununlah Lareh Simawang, kato sampai inyo pun turun, bajalan inyo ka laman, diracak sakali malah kudo, sana bakato Angku Kapalo, "Sungguah-sunguah malah Tuanku mananti, buruang lia kok lain namuah jinak, kok lai untuk jo bagian."

Agaklah del Lareh Simawang, digurantiahkan malah tali kakang, kudo manduo lari kancang, dihiliakan labuah nan panjang, alah sarantang duo rantang, cukuik katigo rantang panjang, tibolah inyo di ranah Koto Simawang, taruih ka Rumah Siti Jamilah.

Dihimbau urang jago gadang, "Manolah urang jago gadang, masuakkan malah kudo ka kandang barilah rumpuik jo sagu."


Indak elok dirandang kacang

Elok diambiak nan babungo;

Tak guni dipapanjang

Elok diambiak nan paguno.


Pantang Tatangahkan


Di hari nan sahari nantun, lorong kapado Lareh Simawang, sadang duduak tangah rumah, duduak bajuntai di kurisi, takana bana wakatu itu, lalu dituka malah pakaian, pai mandi inyo ka lubuak, iyo ka lubuak pincuran gadang.

Lamo tatagun maso itu, babagai pangana nan tibo, tabayang rupo Siti Rawani, lah sampai di dalam lubuak, tak tantu apo ka disabuik.

Hari baransuan rambang sanjo, sanan takajuik lareh nantun, takana bana dek inyo, lalu dibasuah sajo malah muko, indak jadi baliau mandi.


Kununlah dek Siti Jamilah, hedangan lah dilatakkan, hatinyo sakik tak tabado, namun di muko nan indak mangasan, sanan bakato hanyo lai :

"Anak urang pakan rabaa

Nak pai ke Padang Panjang;

Tuanku makanlah baa

Nasi alah ambo hidangkan."


Mandango kato nan bak kian, takajuik Tuanku Lareh Simawang, inyo nan sadang bapikia maso itu, pangana ka Siti Rawani juo, lalu dibasuah malah tangan, disuok nasi sasuok, nasi dikunyah raso sakam, ayia diminum sambiluan, hati buncah pikiran rambang, pangana ka Batusangka juo, iyo ka rumah Siti Rawani. Lorong kapado Siti Jamilah, lalu batanyo sambia bapantun:

"Baburu ka Bangkahulu

Dapeklah ruso kambiang hutan;

Sakik kapalo garan Angku

Mangko nasi indak tamakan.


Kain gadang rang Pitalah

Suji nan tidak barubahan

Pakaian rajo si patani;

Kanai ilimu garan kolah 

Barubah raso paratian

Padoman tampak pado kami."


Disindia nan bak itu, manjawab Lareh Simawang "Dangakan malah dek adiak denai katokan :


Denai hilia ka Pariaman

Singgah ka rumah nak rang Tiku;

Bukan barubah paratian

Hati den rusuah tak batantu."


Bakato pulo Siti Jamilah, suaro lah mulai garuak parau :


"Tanamlah pinang di laman

Jatuah salodang silaronyo;

Barulah Angku di timbangan

Samantang ka bulek-bulek bungo rayo.


Tinggilah bukik Gunuang Sago

Tampek ka ladang rang bakabun;

Usahlah Angku mahandak juo

Angku Kumisi denai lah maklum."


Kununlah dek Siti Jamilah, bajalan inyo ka dalam biliak, ayia mato badarai-darai, takana untuang jo bagian, awak di dalam bababan barek, masuak tujuah bulan panuah, anak rak dalam paibo hati, dirameh paruik dikaluahkan, mangaluah maharang panjang.

Diliek laki gilo bamanuang juo, hatinyo batambah sansai juo, manganakan untuang jo parasaian, awak lah nyato urang dagang, tidak bakampuang ba halaman, tidak badusun banagari, tidak barumah bataratak, tidak bakaum bakirabat.

Tipak di diri Siti Jamilah, lorong Kapado dang rauik romannyo, sariklah pulo ka tandiangannyo, muko panuah bak bujua talua, hiduang mancuang bak dasun tungga, pipi nan bak pauah dilayang, bulu mato bak samuik baririang, daguaknyo nan bak labah hinggok, langannyo bak lilin dituang, batihnyo bak paruik pada, tumiknyo bak talua buruang, randah tidak tinggi pun tidak, sadang elok bapatutan.

Alah sahari duo hari, sampailah sapuluah hari, Lareh Simawang bamanuang juo, hati batambah sansai juo, manganakan untuang jo parasaian. Alah datang candonyo surek, iyo dari ranah Batusangka, lalu dibaco hanyo lai, ado rahasio di dalamnyo.

"Mamintah Tuanku datang ka rumah Angku Kapalo, dek karano janji nan dahulu, pintak bak raso ka buliah, kandak bak raso ka balaku, lakeh malah Tuangku basugiro, datang ka ranah Batu Sangka."


Salasai surek dibao, sanang raso kiro-kiro, tabayang sakali roman Siti Rawani, bajalan inyo sakali, maadok ka rumah Siti Rawiyah.

Alah sarantang duo rantang, cukuik katigo rantang panjang, jauah basarang hampia juo, dakok raso ka tibo, lah tibo inyo di sanan, iyo di rumah aciaknyo Siti Rawiyah. 

Maliek Lareh Simawang lah tibo, dikambangkan lapiak tangah rumah, dihimbau malah bapaknyo, lah naiak Tuanku Lareh Simawang, sanan bakato inyo lai, "Oi Aciak joden di aciak, acek den Siti Rawiyah, ado sabuah denai katokan, denai ka pai babini, iyo ka rumah Siti Rawani, nan di ranah Batusangka."

Mandanga kato nan bak kian, indak ado jawaban dari aciaknyo, sanan bakato Angku Guru, iyolah bapak kanduangnyo, "Anak kanduang Lareh Simawang, hanyo sabuah sajo denai rusuahkan, utang dibayia kok indak salasai, mato tak suko urang mancaliak, talingo tak suko urang mandanga, hilang dagang baganti dagang.

Sabagai lai pulo 'nak kanduang, lorong kapado Siti Jamilah, anak urang sadang hamil, batapolah ka ibo dang hatinyo, ibu tidak dunsanak tidak, kampuangnyo pun jauah sakali, kununlah pulo Siti Jamilah, roman baiak baso katuju, muluik manih kuncindan murah.

Oi anak kanduang saba lah dahulu, malakik anak rang lapeh babannyo, anak kok dibincang-bincang urang, anak kok manyasa kamudian."

Kato nan indah bajawab, bajalanlah Lareh Simawang, iyo ka rumah Siti Jamilah, lah tibo garan di sanan, duduak bajuntai di kurisi, nasi tahedang jo minuman.

Kununlah Siti Jamilah, barapo banalah rusuah hati, capeknyo bapanyok bak itu juo, lalu bakato maso itu, "Usahlah Angku bamanuang juo, minumlah ayia ubek hauih, makanlah nasi ubek litak."

Mandanga kato nan bak kian, lah makan Lareh Simawang, alah sasuok inyo makan, cukuik katigo inyo lah kanyang, sudah pulo marokok makan siriah.

Pada maso itu, patang Kamih malam Jum'at, dek Tuanku Lareh Simawang, dicubo maujo-ujo mangatokan, mamintak izin ka malakang, tapi ado pulo nan dirusuahkannyo, sabab Siti Jamilah sadang bababan, cukuik katujuah bulan panuah, itulah pulo nan manyeso hatinyo, baa lah caro ka mangatokan.

Readmore → Kaba Tuanku Lareh Simawang Ka Babini Duo

Prinsip dasar mengenai wilayah kekuasaan negara | Prinsip Dasar Tentang Pemerintahan di Minangkabau

Sejarah Minangkabau

Alam

Prinsip dasar mengenai wilayah kekuasaan negara

Wilayah negara yang berada di bawah kekuasaan Minangkabau, pada waktu jayanya kira-kira pada abad ke-15 hampir mencakup seluruh wilayah Sumatera Tengah hingga dengan setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. Wilayah tersebut jauh lebih luas dibandingkan dengan wilayah pada zaman pemerintahan Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatih Nan Sabatang. Namun secara pasti tidak bisa ditentukan kapan terjadinya peluasan daerah tersebut, karena tidak ada yang bisa menjelaskan secara pasti. Namun dalam fatwa adat disebutkan sebagai berikut :
Di mano asa api palito - di baliak pandan nan baduri
Di mano asa niniak mamak kito - iyo di lereng Gunuang Merapi
Di Sinan langgundi nan baselo - di sinanlah banto nan barayun
Di Sinan tambilang mulo diantak-an
Basuo aka tigo jurai - Sajurai ka Luhak Tanah Dara
Sajurai ka Luhak Agam - Sajurai ka Luhak Limo Puluah Koto.

Kalau fatwa adat ini dicermati, akan terlihat bahwa perkembangan wilayah Minang kabau itu diawali dari lereng Merapi. Baru kemudian pada tahap pertama, berkembang ke daerah yang sekarang bernama Luhak Tanah Datar. Kemudian, melebar ke barat mendiami daerah yang makin lama makin luas, yang di sebut dengan Luhak Agam dan dari sini berkembang ke arah utara yang disebut dengan Luhak Limo Puluah Koto. Bersamaan dengan yang terakhir ini, sebagian ada yang melompat ke daerah Riau sekarang. 

Nenek moyang kita memandang dan merasakan akan arti serta manfaat benda-benda alam yang berada do dalam ataupun di sekitar daerah pemukiman pada saat itu, misalnya gunung-gunung yang tinggi, sungai-sungai, danau-danau bahkan tumbuh-tumbuhan yang menyolok dan mudah dikenali. 

Dari benda-benda alam tersebutlah  dijadikan patokan dalam menentukan pusat-pusat pemukiman, perkembangan, dan pertumbuhan penduduk, dan juga dalam menentukan batas-batas wilayah. 

Di dalam Tambo dikatakan sebagai berikut :
Nan salilik Gunuang Merapi (Yang membelit gunung Merapi)
Salingka Gunuang Singgalang (Selingkar Gunung Singgalang)
Nan saedaran Gunuang Sago (yang seedaran Gunung Sago)
Kaampek Gunuang Pasaman (Keempat Gunung Pasaman)
Kalimo jo Gunuang Talang (Kelima dengan Gunung Talang)
Sailiran Batang Bangkaweh (sealiran Batang Bangkaweh)
Lalu ka Tiku Pariaman (lewat ke Tiku Pariaman)
Lantak sapadan Rajo Mudo (pancangan batas raja muda)
Sampai Sikilang Aie Bangih (sampai Sikilang Air Bangis)
Hinggo Riak nan badabua (hingga riak yang terhempas)
Dari Tanjuang Simalidu (dari Tanjung Simalindu)
Ka Taratak Aia Itam (ke Taratak Air Hitam)
Ka Sialang balantak basi (ke Sialang berpancang besi
Hinggo Durian ditakuak rajo (hingga durian ditusuk Raja)
Dari Sipisak-pisau anyuik (dari Sipisak pisau hanyut)
Ka Sirangkak nan Badangkang (ke Sirangkak yang menderu)
Inggo buayo putiah daguak (hingga buaya putih daguak)
Sailiran Kampa Kiri Kampa Kanan (sealiran Kampar Kiri - kampar Kanan)
Lalu ka Siak Indragiri (lalu ke Siak Indragiri)
Nagari Sambilan di Malaysia (Negeri Sembilan Malaysia)
Sapiah balahan Minangkabau (bagian belahan Minangkabau)

Tanjuang Simalidu, Sialang Balantak Basi, dan Durian Ditakuak Rajo merupakan batas sebelah tenggara yang sekarang termasuk dalam Provinsi Sumatera Selatan (Palembang), dahulu disebut sebagai Rantau Sihuntue dan Rantau Kuantan yang biasa disebutu Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah. Taratak Aie Itam adalah satu nagari yang terletak di dekat Kota Rengat sekarang, Sialang Balantak Basi berada dekat Kota Bangkinang dan Tanjuang Simalidu berada dekat Kota Muaro Tebo. Sipisak-pisau Anyuik, Sirangkak Nan Badangkang, dan Buayo Putiah Daguak adalah batas-batas sebelah barat daya melintasi puncak Bukit Barisan menuju pantai barat, yang sekarang termasuk dalam provinsi Bengkulu. Menurut cerita orang-orang terdahulu, yang disebut Buayo Putiah Daguak itu adalah sebutan kiasan untuk daerah Bengkulu Utara batas selatan wilayah Minangkabau karena daerah karena daerah tersebut dahulu merupakan Jajahan Portugis.

Di dalam Tambo juga diuraikan beberapa daerah yang merupakan belah dari Minangkabau dengan kondisi dan model zaman itu, bukan merupakan jajahan akan tetapi disebut Rantau Jauh, seperti Kampar Kiri, Kampar Kanan, Siak, Indragiri, dan Negeri Sembilan di Malaysia disebutkan sebagai belahan dari Minangkabau. 

Prinsip Dasar Tentang Pemerintahan di Minangkabau

Dalam hal menyusun roda pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan dalam melaksanakan politik, adat Minangkabau menentukan adanya hirarki, jenjang kekuasaan dari bawah ke atas begitu juga sebaliknya, serta pembagian kekuasaan dalam tiga bidang. Berikut ini fatwa adat yang menyatakan bahwa :
Mencampak sampai ka ulu - Kanailah pantau dek manjalo.
Membuang sampai kehulu - Kenalah ikan oleh jala.
Luhak dibari bapangulu - Rantau dibari barajo.
Lubuk diberi penghulu - Rantau diberi raja
Nagari bapangulu - Negeri berpenghulu.
Kampuang ado Tuannyo - Kampung ada tuannya.
Rumah dibari batungganai- Rumah diberi tiang
Bajanjang naiak - batanggo turun - Berjenjang naik - Bertangga Turun.
Naik dari janjang nan di bawah - Turun dari tanggo nan diateh
Naik dari jenjang dari bawah - Turun dari tangga dari atas.
Tungku tigo sajarangan - tali nan tigo sapilinan.
Tungku tiga dari satu tempat - Talian tiga satu ikat.

Hirarki pemerintah sudah diatur sejak pemerintahan suku, kampung, dan nagari. Kemudian, berkembang menjadi pemerintahan tingkat luhak dan rantau. Ketiga luhak itu juga memiliki daerah rantau dan kesemuanya itulah yang disebut dengan Minangkabau. Tiap nagari sampai tingkat luhak diperintah (dikepalai) oleh seorang Penghulu, sedangkan rantau diperintah oleh raja. Disini dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintahan dalam nagari berbentuk presedium yang anggotanya terdiri dari para kepala suku yang ada, sedang di perantauan dipegang oleh seorang raja. Mungkin pada waktu itu kehidupan di perantauan tidak jauh berbeda dengan kehidupan perantau sekarang, membuka pemukiman baru atau pindah ke daerah yang sudah ada penduduk. Yang berbeda mungkin hanya jumlah penduduk asli yang ditemui. Ada kalanya daerah baru itu masih kosong atau daerah tersebut penduduknya masih sedikit. Setelah berkembang biak di tempat yang baru, maka warga masyarakat perantau yang terdiri dari beberapa suku itu memilih seorang yang dituakan untuk memimpin, yang mereka panggil dengan sebutan rajo. Dalam pemilihan dan pengangkatan rajo pada waktu itu sudah dilaksanakan secara demokratis, bukan raja yang turun temurun sebagaimana biasanya sebuah kerajaan yang bersifat absolut. Maka dari itu, para ahli mengatakan bahwa Raja di Minangkabau itu adalah raja yang tidak punya kerajaan yang didukung oleh fatwa adatnya nan rajo kato mupakaik nan bana kato saio.

Tungku nan Tigo sajarangan, maksudnya di setiap tingkat itu diadakan pemisahan kekuasaan dengan tiga pejabat yang mengurus tiga bidang yang berbeda; Penghulu di bidang Adat, Ulama di bidang Agama, dan Cadiak Pandai atau Cendekiawan di bidang Undang-undang.

Tali nan tigo sapilinan maksudnya adalah tiga perangkat lunak dalam menjalankan pemerintahan, yaitu : Hukum Adat, Hukum Agama, dan Hukum Publik.

Demikian uraian tentang Alam yang menjadi Wilayah Kekuasaan Minangkabau dan Bagaimana Pemerintahan Di Minangkabau. Dan Selanjutkanya uraian mengenai zaman Prasejarah khususnya untuk Nenek Moyang orang Minang Kabau.

Readmore → Prinsip dasar mengenai wilayah kekuasaan negara | Prinsip Dasar Tentang Pemerintahan di Minangkabau

Hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan

Datuk Perpatih nan Sebatang pada zaman dahulu konon kabarnya sudah pernah berlayar dan sampai ke Melaka serta singgah di Negeri Sembilan.

Negeri Sembilan sekarang

Negeri Sembilan termasuk salah satu negara bagian yang menjadi negara Federasi Malaysia. Sebelah selatannya terletak Gubernemen Melaka sebelah ke timur dengan negara bagian Johor, sebelah utara dengan Pahang dan sebelah barat dengan Selangor.



Dalam tahun 1970 negara bagian yang luasnya 2.580 mil persegi ini mempunyai penduduk lebih dari setengah juta jiwa dengan penduduk berkebangsaan Melayu lebih sedikit dari bangsa Cina. Mayoritas di Malaysia terdiri dari tiga rumpun bangsa : Melayu, Cina dan Keling.

Penduduk bangsa Melayu yang kira-kira seperempat juta itu sebagian besar masih mempunyai hubungan dengan daerah asalnya yaitu Minangkabau. Masih banyak adat istiadat Minangkabau yang masih belum hilang oleh mereka dan sebagian masih dipergunakan dalam tata cara hidupnya. Malahan beberapa keterangan dan adat-adat yang di Minangkabau sendiri sudah dilupakan padahal mereka masih tetap segar dan masih dipergunakan. Hubungan sejarah ini sudah bermula pada pertengahan abad kelima belas.

Patun mereka berbunyi :
Leguh legah bunyi pedati
Pedati orang pergi ke Padang
Genta kerbau berbunyi juga
Biar sepiring dapat pagi
Walau sepinggan dapat petang
Pagaruyung teringat juga

Negeri Sembilan sebuah kerajaan tetapi pemerintahannya berdasarkan Konstitusi yang disana dikatakan Perlembagaan Negeri. Badan Legislatifnya bernama "Dewan Perhimpunan/ Perundingan Negeri yang mempunyai anggota 24 orang. Anggota-anggota ini dipilih oleh rakyat dalam Pemilihan Umum yang disini dikatakan : Pilihan raya.

Pelaksanaan pemerintahan dilaksanakan oleh Menteri Besar yang didampingi oleh 8 orang anggotanya yang bernama : "Anggota Majelis Musyawarah Kerajaan Negeri". Gelaran raja ialah Duli Yang Mahamulia Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan. Dalam tahun 1970 itu yang memerintah ialah : Tuanku Ja'far ibni Almarhum Tuanku Abdul Rahman dan beliau ialah keturunan yang kesebelas dari Raja Malewar yang berasal dari Minangkabau dan memerintah antara tahun 1773 - 1795.

Pemerintahan Negeri Sembilan terbagi atas 6 daerah seperti kabupaten di Indonesia, yaitu: Seremban, Kuala Pilah, Port Dickson, Jelebu, Tampin dan Rembau. Ibukotanya ialah Seremban. Istana raja terdapat di ibukota Seremban ini bernama : Istana Seri Menanti. Tetapi arsitekturnya tidak lagi dengan cara Minang melainkan sudah berkomposisi antara arsitektur Minang dan Melayu.
Kedatangan bangsa Minangkabau
Sebelum Negeri Sembilan bernama demikian di Melaka sudah berdiri sebuah kerajaan yang terkenal dalam sejarah. Dan pelabuhan Melaka menjadi pintu gerbang untuk menyusup kedaerah pedalaman tanah Semenanjung itu. Maka sebelum berdiri Negeri Sembilan datanglah rombongan demi rombongan dari Minangkabau dan tinggal menetap disini.

Rombongan Pertama

Mula-mula datanglah sebuah rombongan dengan pimpinan seorang datuk yang bergelar Datuk Raja dengan isterinya Tok Seri. Tetapi kurang jelas dari mana asal mereka di Minangkabau. Mereka dalam perjalanan ke Negeri Sembilan singgah di Siak kemudian meneruskan perjalanan menyeberang Selat Melaka terus ke Johor. Dari Johor mereka pergi ke Naning terus ke Rembau. Dan akhirnya menetap disebuah tempat yang bernama Londar Naga. Sebab disebut demikian karena disana ditemui kesan-kesan alur naga. Sekarang tempat itu bernama Kampung Galau.

Rombongan Kedua

Pimpinan rombongan ini bergelar Datuk Raja juga dan berasal dari keluarga Datuk Bandaro Penghulu Alam dari Sungai Tarab. Rombongan ini menetap disebuah tempat yang kemudian terkenal dengan Kampung Sungai Layang.

Rombongan Ketiga

Rombongan ketiga ini datang dari Batu Sangkar juga, keluarga Datuk Makudum Sati di Sumanik. Mereka dua orang bersaudara: Sutan Sumanik dan Johan Kebesaran. Rombongan ini dalam perjalanannya singgah juga di Siak, Melaka, dan Rembau. Kemudian membuat sebuah perkampungan yang bernama Tanjung Alam yang kemudian berganti dengan Gunung Pasir.

Rombongan Keempat

Rombongan ini datang dari Sarilamak (Payakumbuh), diketuai oleh Datuk Putih dan mereka menepat pada Sutan Sumanik yang sudah duluan membuka perkampungan di Negeri Sembilan ini. Datuk Putih terkenal sebagai seorang pawang atau bomoh yang ahli ilmu kebatinan. Beliaulah yang memberi nama Seri Menanti bagi tempat istana raja yang sekarang ini.

Kemudian berturut-turut datang lagi rombongan lain-lainnya antaranya yang dicatat oleh sejarah Negeri Sembilan : Rombongan yang bermula mendiami Rembau datangnya dari Batu Hampar (Payakumbuh) dengan pengiringnya dari Batu Hampar sendiri dan dari Mungka. Nama beliau ialah Datuk Lelo balang. Kemudian menyusul lagi adik dari Datuk Lelo Balang bernama Datuk Laut Dalam dari Kampung Tiga Nenek.

Walaupun penduduk Negeri Sembilan mengakui ajaran-ajaran Datuk Perpatih nan Sebatang yang sangat populer disini tetapi mereka tidak membagi persukuan atas 4 bagian seperti di Minagkabau. Mungkin disebabkan situasi dan perkembangannya sebagai kata pepatah : Dekat mencari suku jauh mencari Hindu, maka suku-suku di Negeri Sembilan berasal dari luhak dari tempat datang mereka itu atau negeri asal datangnya.

Berdasarkan asal kedatangan mereka yang demikian terdapatlah 12 suku di Negeri Sembilan yang masing-masing adalah sbb;
  1. Tanah Datar
  2. Batuhampar
  3. Seri Lemak Pahang
  4. Seri Lemak Minangkabau
  5. Mungka
  6. Payakumbuh
  7. Seri Malanggang
  8. Tigo Batu
  9. Biduanda
  10. Tigo Nenek
  11. Anak Aceh
  12. Batu Belang
Readmore → Hubungan Minangkabau dengan Negeri Sembilan

Legenda Danau Maninjau, Gunung Tinjau, Asal Usul Danau Maninjau

Legenda Danau Maninjau Sumatera Barat

Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Danau Maninjau berikut ini!
Legenda Danau Maninjau

Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.

Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan. Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di tangannya.
Mari simak ceritanya dalam bahasa minang berikut ini
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Angku.

Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu. Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.

“Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”

“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”

“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya dengan untaian pantun.
“Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”

Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karena hal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang Kukuban.
“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.
“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.
“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,” jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya sendiri.
“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.
“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk Limbatang dengan tenang.
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat sambil tersenyum.
“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuk Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar Datuk Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela nafas panjang.
Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama beberapa warga lainnya.
“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.
“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang warga.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
Demikian cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa tak tahu kesalahan sendiri,
lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat

Sumber : Mozaik Minang
Readmore → Legenda Danau Maninjau, Gunung Tinjau, Asal Usul Danau Maninjau

Kato dalam bahasa Minang

Kato adalah suatu lafaz yang menghendaki makna Makna adalah suatu pengertian yang tidak mempunyai huruf dan suara. Rundingan adalah suatu pembicaraan yang menghasilkan suatu maksud.

I. Kato Terbagi tiga dalam adat.
1. Kato muqabilah
2. Kato bakilah
3. Kato bahelah

1. Kato Muqabilah

Ialah kata-kata dalam adat, yaitu

Rundiang nan saiyo, Bana nan saukua, Bak batang dalam tanah, Tigo puluh tahun dalam lunau, Namun tareh mambangun juo, Bak ibarat bungo pinggan, Walau pacah basimpang tujuah,Bamusin dalam tanah, Namun ragi tak namuah hilang

Artinya :
Kato ini adalah kato kebenaran yang tidak dapat diubah dan tidak dapat ditukar. Disebut juga kato yang hak yang harus dilaksanakan oleh ninik mamak dan pemimpin.
Kato ini pulalah yang harus ditegakkan dan dituruti.

2. Kato Bakilah
Adalah kato-kato di dalam adat yang tidak dapat dijadikan pedoman dan pegangan, seperti :

Mangambiak contoh
Ateh kebenaran orang lain, Sagalo kato-kato urang, Napi kasadonyo, Nan batua dirinyo sajo.

Artinya :

Perkataan seseorang yang hanya kata dia saja yang benar, dan kata-kata ini diambil dari kata-kata orang lain, yaitu orang yang tidak dapat katanya dibantah, karena kebodohannya.

3. Kato Bahelah

Menghelah seorang lain atas jalan kebenaran.

barih luruih alua tarantang, Sakato kito mangunjuangi bananyo, Nak bulan ka tabik, Pahamnyo bak api dalam sakam



Di lahia indak mangasan,
Lah anguih sajo mako tahu.

Artinya :

Kata yang selalu dihelah karena ingin lari dari kebenaran atau orang yang mengatakan dialah yang benar, orang lain tidak benar.



2.Rundingan
ada tiga macam :
1. Rundingan basimanih
2. Rundingan basiginyang
3. Rundingan basiransang

1. Rundingan Basimanih
Ialah :

Rundingan nan liok-liok lambai, Rundingan nan lamak-lamak manih, Lamak bak santan jo tangguli, Sakali runding disabuik, takana juo salamonyo

Artinya :

Perkataan dalam pergaulan sehari-hari yang baik dan manis, menarik hati orang sehingga mudah untuk membawa kepada suatu pengertian dan kebenaran.

2. Rundingan Basiginyang
Ialah :
Rundingan nan tagang-tagang kandua, Rundingan nan tinggi-tinggi randah, Bak mahelo tali jalo, Agak tangan di kanduri, Diam di kato nan sadang elok

Artinya :

Perkataan dalam pergaulan sehari-hari yang selalu bisa menaklukkan orang yang menimpang dari jalan yang benar. Pembicaraan ini tidak menghendaki tindakan yang keras, hanya cukup untuk menundukkan seseorang dengan perkataan yang baik dan lunak lembut.

3. Rundingan Basiransang
Ialah :

Banyak andai jo kucindan, Sarato galuik jo galusang, Ka lalu raso ka tasabuik, Ka suruik jalan tataruang, Ditampuah juo kasudahannyo.

Artinya :
Pembicaraan yang ragu dan tidak tegas dalam suatu persoalan.

Sifat Kato jo rundingan tigo macamnyo :
1. Tipuan Aceh
2. Gurindam Barus
3. Tangguak Malayu

1. Tipuan Aceh

Ditipu jo muluik manih, Dikabek jo aka budi, Dililik jo baso baiak, Muluik manih talempong kato, Baso baiak gulo di bibia, Budi haluih bak lauik dalam, Tampek bamain aka budi

2. Gurindam Barus

Dipahaluih andai rundingan, Dipabanyak ragam kecek, Dipaeloki tungkuih garam, Dipagadang tungkuih rabuak, Padi dikabek jo daunnyo,Manusia di kabek jo akanyo, Sarato di helo jo budinyo

3. Tangguak Malayu

Tak kaik tupang manganai, Tak siriah pinang mamalan, Tak tajak tajuak tajarang, Tak pasin tangguang tibo, Tak laju dandang di aia, Di gurun ditajakkan juo, Umpamo mancakau, buruang, Kok lari ka ateh kayu, Di tembak jo damak, Kok lari ka aia diserakkan jalo, Kok lari ka dalam tanah, Di kali jo Tambilang, Kok ka awang-awang, Dipasuang jo asok, Lamo lambek jatuah juo kasudahannyo



Sifat kato dan rundingan yang dimaksud di dalam adat ialah : seorang penghulu atau pemimpin dalam masyarakat selalu berusaha untuk membawa orang kepada jalan kebenaran. Tetapi hendaklah dilakukan kebijaksanaan dengan kata-kata yang baik, lunak, lembut karena kata yang lunak lembut itu merupakan kunci bagi hati manusia, dan sangat perlu.

Metode seperti ini bagi seorang penghulu atau pemimpin untuk membawa orang kepada kebenaran, kalau sekiranya orang ini bersikeras kepala tidak patuh, dan tidak mau menerima suatu kebenaran, kalau menurut pendapatnya tidak diterima oleh orang lain, seperti kata pepatah :

Bungkuak sauah tak takadang, Kareh hiduang sangiek kaluan, Nan bak umpamo tukang rabab,Nan balaku bak katonyo surang, Nan bana bananyo sorang, Nan di urang bukan kasadonyo.

Jangan hendaknya terjadi di dalam pemimpin kita untuk membawa orang kepada suatu kebenaran dengan jalan kekerasan, seperti :

Kuek katam karano tumpu, Kuek sapik karano takan, Tetapi, Palu-palu ula dalam baniah, Baniah tak leso, Tanah tak lambang, Panokok tak patah, Tapi nan ula mati juo

Begitupun sifat kato dan rundingan ini berguna sekali dalam pergaulan sehari-hari karena seseorang penghulu atau pemimpin akan menjadi contoh dan tauladan bagi anak kemenakan dan orang banyak. Pepatah mengatakan :

Muluik tataruang ameh padahannyo, Kaki tataruang inai padahannyo, Mulutmu harimau-mu, Itu yang menjadi musuh padamu, Murah kato takatokan, Sulik kato jo timbangan, Anjalai pamaga jo timbangan, Tumbuah sarumpun jo lagundi, Kok pandai bakato-kato, Bak santan jo tangguli, Kok tak pandai mangaluakan kato-kato, Bak alu pancukia duri.
Readmore → Kato dalam bahasa Minang

Sejarah Suku Chaniago

Sejarah Suku Chaniago

Riwayat Datangnya Suku Chaniago dari Minang ke Nias.

Seorang bangsawan Minang asal Pariangan Padang Panjang bernama Nyik Puncak Alam dari suku Chaniago bergelar Datuk Raja Ahmad yang disertai penghulunya Ahmad Sirinto dan Si Kumango berlayar menuju Aceh Barat dengan sebuah kapal layar (picalang) yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap termasuk beberapa pucuk meriam. Misi pelayaran ini adalah untuk berdagang. Dalam penuturan lain disebutkan bahwa misinya untuk mencari Mamaknya (saudara laiki-laki Ibu) yang telah lama berlayar ke Negeri Aceh, bernama Tuanku Kariem.

Saat itu pantai barat Sumatera sangat tidak aman, akibat merajalelalanya perampok dan bajak laut. Masalah keamanan ini tidak bisa ditangani dengan baik oleh Kesultanan Aceh yang mulai melemah sepeninggal Sultan Iskandar Muda.

Menurut catatan para pemuka-pemuka adat Ilir Gunungsitoli, yang dikutip dari tambo lama, disebutkan bahwa kapal layar Datuk Raja Ahmad tiba di Teluk Belukar/ Talu Baliku (Sekarang bernama Muara Indah), yang berlokasi di Desa Afia Kec. Tuhemberua) pada 1111 H. atau sekitar tahun 1690 M. Dalam tulisan lain menyebutkan pada 11 Safar 1111 H.

Kedatangannya ini sendiri awalnya hanya sekedar berlindung dari amukan badai. Namun belakangan Datuk Raja Ahmad bersedia tinggal di Pulau Nias atas permintaan dari raja-raja di Nias yang berdua di Negeri Laraga Talu Idanoi yaitu Balugu Aforo Laowofa untuk membantu mengatasi serangan bajak laut yang semakin mengganas di wilayah pesisir pantai Pulau Nias.

Kesediaan Datuk Raja Ahmad ini didahului dengan adanya kesepakatan dengan raja-raja Nias. Adapun isi kesepakatan antara Datuk Raja Ahmad dan raja-raja Nias, seperti dikutip dari “Sejarah Koto – Benteng Kuno” tulisan AR. Sutan Ibrahim dan Sutan Amin Alam, halaman 6 paragraf 5, adalah sebagai berikut:

Seketika itu maka bertanyalah Datuk Raja Ahmad: “Kalau hamba berdiam disini, apakah pemberian Raja-raja kepada hamba?

Maka menjawab Raja-raja Nias yang berdua: “Bertigalah kita memerintah tanaha ini, sebelah pesisir tepi laut Datuk yang menguasai dan memerintah sampai di kaki gunung yakni dimana-mana sampai pemerintah ta’luk kami, pulang kepada datuk semuanya.

Lalu bersumpah setialah Raja-raja Nias dengan Datuk Raja Ahmad nan tidak cido mencidokan (Pen: Saling mencelakakan/ berkhianat), jika hilang di darat Raja-raja Nias yang mencari, jika hilang di laut Datuk Raja Ahmad yang mencari. Maka dalam pada itu terdengarlah pula kepada Raja kepala suku Telaumbanua Raja Awuwuoha, turut menjadi sepakat seia bersama-sama tolong menolong.



Selanjutnya seperti disebutkan dalam “Riwayat Kedatangan Suku Aceh di Pulau Nias”, Datuk Raja Ahmad tinggal di Pulau Nias dan bertemu dengan Teuku Polem dan kemudian menikah dengan putrinya yaitu Siti Zohora. Perkawinan Datuk Raja Ahmad dan Siti Zohora ini dikaruniai tiga orang putra yaitu:

1. Datuk Raja Jamat

2. Raja Mangkuto

3. Datuk Raja Malimpah

Setelah melahirkan anak pertama, Siti Zohora meminta suaminya Datuk Raja Ahmad untuk menjemput kakaknya Si Meugang ke Meulaboh. Oleh Datuk Raja Ahmad permintaan ini dipenuhi dengan mengutus penghulunya Ahmad Sirinto. Teuku Simeugang dan Si Acah akhirnya pulang kembali ke Nias dengan membawa beberapa tanda mata peninggalan kakeknya Teuku Cik berupa persenjataan dan meriam, Badi Suasa, Cerana Perak dan barang-barang berharga lainnya.

NDRAWA SOWANUA

Wilayah tempat tinggal Datuk Raja Ahmad ini kemudian berkembang menjadi sebuah “koto” (Koto dalam bahasa Minang berarti Kota). Koto ini juga sekaligus menjadi benteng pertahanan dari gangguan kemanan dan musuh dan dilengkapi dengan beberapa pucuk meriam. Meriam-meriam peninggalan tersebut hingga kini masih dapat ditemui, yaitu di Kelurahan Ilir Gunungsitoli, tepatnya di persimpangan jalan Diponegoro.

Seiring dengan semakin berkembangnya penduduk dan wilayah, koto ini dinamakan Arö koto atau Kampung Dalam. Wilayah tersebut terletak di perbatasan antara desa Mudik dan Kelurahan Ilir, tepat disisi Kali Nou. Ada juga yang menyebutkan bahwa penamaan Arö Koto ini sesuai dengan nama kampung asal Datuk Raja Ahmad di Pariangan yaitu Kampung Dalam, Pariangan Padang Panjang di Sumatera Barat.

Pemilikan wilayah dan daerah kekuasaan pesisir pantai oleh Ndrawa ini telah disahkan secara adat oleh lembaga adat yang diselenggarakan oleh pemimpin para Ndrawa dengan raja-raja Nias yang disebut FONDRAKÖ.

FONDRAKÖ pertama diselenggarakan di Mbuniö dan Heleduna (berlokasi di kaki bukit Lasara). Sehingga sejak saat itu kedudukan para Ndrawa sama dengan penduduk asli Nias dan mereka disebut sebagai NDRAWA SOWANUA, yang artinya pendatang yang mempunyai negeri atau kampung.

Sehingga tidak mengherankan jika hingga sekarang, umumnya para kota atau kampung di sepanjang daerah pesisir pantai Nias adalah merupakan pemukiman dari keturunan Aceh dan Minang.
Readmore → Sejarah Suku Chaniago
Copyright © Kota Minang Kabau. All rights reserved.