-->

Tata Krama Tradisional Masyarakat Nagari Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan

Tata Krama Tradisional Masyarakat Nagari Mandeh Kabupaten Pesisir Selatan

Setiap masyarakat (suku bangsa) mempunyai budaya dan kebiasaan yang khas, yang membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Kekhasan itu dapat dianggap sebagai ciri kebudayaan dan dimilikinya, dan sekaligus menjadi jati diri masyarakat tersebut.

Hal tersebut dapat dilihat salah satunya adalah tingkah laku atau perilaku manusia, baik dalam kehidupan sehari-harinya, maupun ketika berhubungan dengan orang lain, karena hal tersebut menimbulkan interaksi.

Pada waktu manusia berhubungan atau berinteraksi sesamanya, maka ada hal-hal yang mengatur yaitu tatakrama (adab sopan santun). Tatakrama (adab, sopan santun) merupakan milik kolektif suatu masyarakat, dan sesungguhnya mencerminkan budaya masyarakat pengembannya, menjadi ciri atau identitas masyarakat bersangkutan yang membedakannya dengan masyarakat lain.

Tatakrama menurut kamus Bahasa Indonesia (1995) adalah sopan santun yang diartikan sebagai segala tindak tanduk, perilaku, adat istiadat, tegur sapa, ucap dan cakap sesuai kaidah dan norma tertentu. Tatakrama mencakup seluruh segi kehidupan suatu masyarakat, antara lain meliputi kehidupan di lingkungan keluarga (kerabat) maupun di luar kerabat. Aturan atau tatakrama tentang bagaimana bersikap dengan kerabat dan luar kerabat itu telah semenjak duhulu yang biasanya selaras dengan nilai budaya yang dianut masyarakat pengembannya. Dananjaya (1994) menyebutkan bahwa tatakrama merupakan sesuatu yang harus dipelajari, baik oleh warga pemakainya, maupun orang lain yang ingin memahami masyarakat yang bersangkutan.

Selain itu, dalam tatakrama terkandung adanya pengendalian sosial seperti rasa hormat, rasa takut, sungkan, malu, dan rasa kesetiakawanan. Fungsi tatakrama adalah untuk mengatur perilaku masyarakat sehingga kalau aturan tatakrama dipatuhi maka akan tercipta interaksi sosial yang teratur. Tatakrama, dapat dikatakan merupakan tindakan suatu masyarat sebagai warisan turun temurun dan menjadi milik bersama.

Tindakan masyarakat, bisa diartikan sebagai tindakan sosial. Tindakan sosial adalah semua perilaku manusia yang dimotivasi dan dituntun oleh makna-makna yang dipahami aktor di dunia luar, makna-makna yang dianggapnya penting dan ada yang responnya. (Jenks, 2013 ; 85).

Pembentukan tatakrama awalnya bermula di lingkungan keluarga, dan diwariskan secara turun temurun melalui proses pembelajaran, dalam wujud bagaimana cara menghormat, berbicara, bersalaman, makan dan minum, berpakaian, bertegur sapa, bertamu, dan tatakrama lain yang lazin berlaku pada msyarakat yang bersangkutan, baik dilingkungan keluarga (kerabat) maupun di luar kerabat.

Seorang anak dalam suatu masyarakat, sejak kecil sudah memperoleh pendidikan tatakrama yang dimulai dari lingkungan yang terkecil yaitu keluarga sampai ke lingkungan yang lebih luas yaitu masyarakat.

Anak-anak disiapkan dalam rangka hubungan antar pribadi sebagai salah satu tahap bagi si anak untuk diterima secara penuh sebagai warga dengan mengamalkan tatakrama yang berlaku pada masyarakatnya. Sehingga, mereka yang lebih muda akan mengetahuai bagaimana tatakrama dalam budayanya dan mempunyai dasar yang kuat dalam menjaring masuknya budaya luar.

Generasi yang lebih tua mewariskan dan generasi yang lebih muda mewarisi., dan kemudian mewariskannya pula pada generasi selanjutnya. Adanya pewarisan itulah yang menyebabkan budaya masyarakat tetap terjaga dan lestari termasuk tatakrama. Tatakrama yang diwaris secara turun temurun itulah yang dikenal sebagai tatakrama tradisional suatu masyarakat, dan menjadi kekayaan (khazanah) budaya msyarakat bersangkutan.

Diantara orang-orang (masyarakat) yang berasal dari suku bangsa yang sama, ada kalanya memiliki perbedaan tatakrama (budaya) sehari-hari yang disebabkan antara lain oleh faktor lingkungan tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan dan lain-lain. 

Masyarakat yang tinggal dipedesaan memiliki tatakrama berbeda dengan masyarakat tinggal di perkotaan. Begitupun, masyarakat yang di daerah darat (pegunungan) memiliki tatakrama berbeda dengan masyarakat yang tinggal di tepi pantai pesisir. Masyarakat Pesisir adalah kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung dari pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir.(Zein, 2002;6).

Kondisi lingkungannya yang dekat dengan laut dan bekerja sebagai nelayan mempengaruhi bentuk tatakrama sehari-hari dalam berhubungan dengan orang yang sekerabat dan dengan orang luar kerabatnya. Hal itu disebabkan karena masyarakat pesisir sebagai sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, cukup lama hidup bersama, mendiami suatu wilayah pesisir, memiliki kebudayaan yang sama, yang identik dengan alam pesisir, dan melakukan kegiatan didalam kelompoknya.

Ketergantungan masyarakat terhadap sektor kelautan ini memberikan identitas tersendiri sebagai masyarakat pesisir dengan pola hidup yang dikenal sebagai kebudayaan pesisir (Geertz; 1981).

Aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir turun temurun umumnya adalah sebagai nelayan (menangkap ikan di laut), sehingga masyarakat pesisir diidentikkan sebagai masyarakat nelayan. Kusnadi (2010), menyebutkan bahwa masyarakat nelayan merupakan unsur sosial yang sangat penting dalam struktur masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang mereka miliki mewarnai karakteristik kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat pesisir secara umum. Ginkel (dalam Kusnadi; 2010), menyebutkan bahwa kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan, termasuk bentuk tatakrama (adat sopan santun) dalam kehidupan sehari-hari.


Kebudayaan masyarakat pesisir diantaranya terwujud dengan berbagai aspek sosial budaya dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya berupa tatakrama di lingkungkan keluarga dan masyarakat. Aspek sosial budaya itu sesungguhnya merupakan sistem nilai budaya yang berlaku pada masyarakat bersangkutan. 

Pembentukan sistem nilai budaya tentunya terkait dengan aktifitas dalam berhubungan sesamanya yang menghasilkan ragam aktifitas budaya, dan menjadi acuan dalam kehidupan sehari-hari. Sistem nilai itulah yang  menjadi dasar terbentuknya aktifitas sosial budaya yang pada akhirnya menimbulkan kebudayaan masyarakat pesisir tersebut.

Masyarakat pesisir sendiri tidak luput dari perubahan dalam kehidupannya sebagai akibat perkembangan zaman dewasa ini.

Masyarakat pesisir, sebagaimana telah diungkapkan, memiliki tatakrama yang telah berlaku turun temurun sebagai warisan dari leluhurnya. Tatakrama pada masyarakat pesisir memiliki kekhasan sendiri yang timbul akibat kehidupannya yang banyak bergelut dengan laut (nelayan), berbeda dengan masyarakat yang tinggal jauh dari pesisir (pegunungan), walaupun mereka merupakan suku bangsa yang sama. Ada hal-hal yang pada masyarakat pesisir dianggap tidak lazim oleh masyarakat yang tinggal jauh dari pantai, karena tidak mengentahui dan mengerti dengan hal tersebut, sehingga terkadang menimbulkan kesalahpahaman, saling mengejek dan bahkan terkadang menjurus ke arah konflik. Oleh karena itu sepatutnyalah perlu diketahui lebih jauh tentang tatakrama masyarakat nelayan untuk lebih mengetahui kehidupan masyarakat tradisional yang berlaku dalam kehidupan sehari-harinya.

Masyarakat tradisional, sebagaimana diketahui, dalam batas-batas tertentu memiliki kemampuan beradaptasi dengan perubahan. Namun dalam skala perubahan yang lebih luas, seperti perubahan yang muncul bersamaan dengan arus globalisasi seperti pada sekarang ini, masyarakat (tradisional) tidak mampu secara cepat dan tepat, untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut. Hal ini disebabkan oleh latar belakang sosial budaya yang sudah terbiasa dengan pola atau aturan yang diwarisi dari generasi sebelumnya.

Perubahan yang tidak bisa dihindari oleh setiap masyarakat, serta merta ikut mempengaruhi keberadaan tatakrama tradisional di tengah masyarakatnya, baik di dalam kerabat maupun masyarakat yang lebih luas (diluar kerabat).

Demikian juga halnya dengan masyarakat pesisir di Provinsi Sumatera Barat yang tersebar dari Air Bangis di Kabupaten Pasaman Barat, sampai dengan Lunang Silaut di Kabupaten Pesisir Selatan. Secara budaya, mereka adalah masyarakat (sukubangsa) Minang Kabau yang dikenal dengan kebudayaan Minangkabau matrilinialnya, dan melaksanakan adat Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari. 

Sama halnya dengan masyarakat pesisir lainnya, sebagian besar masyarat pesisir itu berkehidupan sebagai nelayan (menangkap ikan di laut) sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, mereka dikenal masih kuat melaksanakan kebiasaan atau tradisi yang merupakan warisan dari leluhurnya, termasuk tatakrama dalam kehidupan sehari-hari sejak dahulu hingga sekarang, Dalam kesehariannya mereka melaksanakan adat dan budaya sebagaimana halnya masyarakat di darek (darat) yang di kenal sebagai daerah asal (pusat budaya) orang Minangkabau.

Salah satu daerah (nagari) di pesisir Sumatera Barat adalah Nagari Mandeh Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan. Mayoritas masyarakat Mandeh bekerja sebagai nelayan (menangkap ikan) dan di kenal masih kuat memelihara kebiasaan tradisional dalam kehidupan sehari-hari, khususnya adap sopan santun (tatakrama) dalam berinteraksi dengan kaum kerabat dan masyarakat yang lebih luas. Nagari Mandeh merupakan daerah yang termasuk dalam kasawan objek wisata unggulan di Sumatera Barat.

Dijadikannya daerah ini sebagai daerah tujuan wisata mengindikasikan masyarakat setempat akan menghadapi interaksi langsung dengan para wisatawan yang berbeda budaya dan tentunya mempengaruhi budaya masyarakat setempat.

Dalam hal ini juga bisa menyentuk aktivitas sosial budaya masyarakat, termasuk tatakrama tradisional masyarakat setempat bisa jadi tinggal kenangan masa lampau, jika tidak ada usaha pendokumentasian dan pewarisan kepada generasi muda.

Sehubungan dengan itu, tulisan ini difokuskan pada tatakrama tradisional yang berlaku pada masyarakat di Nagari Mandeh Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan, khususnya bagaimana bentuk tatakrama tradisional masyarakat Nagari Mandeh di Kabupaten Pesisir Selatan, dan Penggunaan Tatakrama dalam kerabat dan diluar kerabat pada masyarakat Mandeh sekarang ini. 

Jenis tatakrama yang ingin diketahui dan dikaji lebih jauh yakni tatakrama menghormat, makan dan minum, berpakaian, bertegur sapa, bersalaman, tatakrama bertamu, dan lainnya, serta penggunaanya dalam kerabat dan diluar kerabat sekarang ini.


Metode Penelitian  

Metode/Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini dengan menerapkan prinsip-prinsip penelitian etnografi, yang bersifat kualitatif. Salah satu ciri dari penelitian etnografi dengan pendekatan kualitatif adalah deskripsi mengenai aspek-aspek kebudayaan suatu masyarakat. Pendekatan ini bisa pula diartikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati (Moleong, 1998: 3). Pendekatan kualitatif berusaha menjelaskan realitas sosial yang ingin diteliti dengan menggunakan data kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam dan komprehensif tentang realitas sosial dalam masyarkat. Dalam penelitian kualitatif ini data dan informan ditelusuri seluas-luasnya dan sedalam mungkin sesuai dengan variasi yang ada, sehingga dengan cara demikian peneliti mampu mendeskripsikan fenomena secara utuh (Bungin, 2003: 53).

Pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui beberapa teknik yang lazim digunakan dalam penelitian kebudayaan (kualitatif) yakni studi kepustakaan, wawancara dan observasi di lapangan. Studi kepustakaan, dengan mengumpulkan sumber-sumber tertulis berupa artikel, buku, ataupun tulisan-tulisan yang dapat dapat memberikan informasi tentang tatakrama dan masyarakat pesisir, khususnya di Nagari Mandeh untuk memperoleh gambaran awal tentang topik penelitian dan masyarakat setempat, dilakukan dengan mengunjungi perpustakaan dan tempat-tempat lainnya yang memungkinkan data diperoleh. Wawancara (interview), dilakukan terhadap beberapa orang informan yang dipilih berdasarkan kriteria yang telah diterapkan dan banyak mengetahui tentang kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Wawancara terfokus dilakukan terhadap informan terpilih yakni tokoh masyarakat, nelayan, generasi muda dan lainnya, untuk menggali data yang banyak dan mendalam.

Pengamatan (observation), diperlukan untuk mengetahui kondisi lingkungan sosial, lingkungan alam, dan lainnya. Analisis data, dilakukan terus menerus dengan menggunakan teknik interaktif analisis yang terdiri dari tiga tahap yakni reduksi data, display data dan verifikasi, dengan tujuan untuk mendapatkan kesinambungan dan kedalaman memperoleh data (Milles dan Huberman, danam Bungin : 2003).  

Copyright © Kota Minang Kabau. All rights reserved.